Aku bangun dari tidurku. Keringat membasahi wajah dan rambut pirangku, tanganku gemetaran. Aku bukan lagi di rumahku. Aku berada di tempat aneh yang agak gelap.
B. Indonesia
alfarizal364p265q5
Pertanyaan
Aku bangun dari tidurku. Keringat membasahi wajah dan rambut pirangku, tanganku gemetaran. Aku bukan lagi di rumahku. Aku berada di tempat aneh yang agak gelap. Pakaian ketat berwarna hitam melekat di tubuhku. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Selanjutnya,” terdengar suara seorang robot pria, dari speaker yang tergantung di plafon. “Reviz Arnoldi.”
Aku kaget, namaku disebut.
Dua menit berlalu. Dua robot datang. Mereka memaksaku berjalan, hinggai sampai di tempat luas, canggih, dan modern. Salah satu robot, memberiku pedang yang bersinar terang. Mereka meninggalkanku sendirian. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku juga tidak mengerti mengapa mereka memberikaniku pedang bersinar itu.
“Bersiaplah Reviz,” terdengar suara dari speaker lagi. “Pertarungan akan dimulai.”
Pertarungan? Aku tak mengerti. Tiba-tiba, tembok terbuka secara otomatis. Di sana ada robot berwarna hitam, memakai helm, tingginya dua meter.
Robot itu mendekati aku. Aku mengangkat pedangku, bersiap jika si robot itu datang. Si robot, ditemani motor canggihnya. Dia mengendarai motornya dengan cepat, mendekati aku. Aku nyaris tertabrak, untungnya aku menghindar.
Si robot, memarkirkan motornya, dia mengambil senjata, mirip seperti pisau lipat. Dia membuka pisau lipat, pisau itu bersinar terang. Si robot berlari mendekati aku. Aku mengayunkan pedang, tapi si robot menghindar. Sekali lagi, aku menyerang dan robot itu menghindar.
Si robot, menendang perutku, hingga aku terpelanting dua meter. Si robot berjalan ke arahku. Dia hendak mengayunkan pisaunya ke arahku, tapi dengan sigap aku menyandung kakinya, hingga dia terjatuh. Aku bangkit berdiri, menancapkan pedangku ke dada si robot. Robot itu rusak, percikan listrik nyaris mengenai kakikku.
Aku berhasil mengalahkannya. Aku senang. Aku menatap sekeliling, untuk melihat apakah ada yang memujiku atau tidak.
Lima orang datang, mereka bukan robot. Aku sudah yakin, lima orang itu akan memberikanku pujian atau hadiah, tapi ternyata bukan. Mereka menatapku dengan tatapan penuh kebencian.
“Tangkap dia!” Teriak salah satu orang.
Aku kaget, berusaha kabur. Aku melihat sekeliling, mencari jalan keluar, tapi semua pintu dan jendela telah ditutup. Lima orang itu mendekati aku.
Dengan sigap, aku berlari ke arah motor si robot. Tak ada kunci, tapi aku mencoba mengendarai motor itu, dan ternyata berhasil. Aku mengendari motor dengan cepat, menabrak dinding, hingga dinding itu hancur.
Aku sekarang berada di luar tempat aneh tadi. Kelima orang itu masih mengejarku. Aku terus menjalankan motor sejauh mungkin, sampai akhirnya aku berhasil lolos dari kejaran lima orang itu.
Dua puluh tahun berlalu.
Aku punya anak. Ricky Arnoldi, dia masih sepuluh tahun.
Sudah jam sebelas malam, tapi anakku masih belum tidur, dia sedang melamun di tempat tidurnya. Aku mendekatinya,
“Hai, jagoan,” kataku. “Kenapa belum tidur?”
“Aku belum ngantuk,” sahut Ricky. “Ayah harus menceritakkan tentang robot gila itu lagi.”
Aku memang sering menceritakkan tentang pengalaman pertarungan dengan robot, tapi sepertinya Ricky tidak bosan.
“Aku membunuh robot gila itu dengan pedang…”
“Aku sudah sering dengar yang itu,” potong Ricky. “Ceritakan bagaimana ayah bisa ada di tempat itu.”
“Oke,” jawabku gagap. Aku menarik napas panjang.
“Jadi, di tahun 2057. Umur ayah masih dua puluh tahun. Aku dan ratusan pemuda lainnya diculik oleh suatu kelompok, mereka bertujuan ingin menggantikan seluruh manusia di bumi dengan robot. Mereka menculikku, untuk menguji coba apakah robot milik mereka sudah kuat.”
“Lalu?” tanya Ricky tak sabar dengan cerita setelah aku kabur dari tempat itu.
“Aku melapor pada polisi. Walaupun tadinya mereka tak percaya dengan ceritaku, tapi akhirnya mereka menyelidiki kasus itu. Dan akhirnya, mereka menangkap kelompok itu.”
“Lalu bagaimana dengan robot gila itu, yah?”
“Mereka dihancurkan.”
Ricky terlihat ketakutan. “Aku takut robot itu akan menyerangku.”
“Itu tidak akan terjadi, ada ayah di sisimu,” aku menengkan. “Sebaiknya kau tidur saja, Ricky.”
Aku pergi dari kamar Ricky. Ricky menutup matanya, walaupun aku tahu dia hanya pura-pura tidur, dia pasti sedang memikirkan tentang masa laluku, dan dia bangga padaku. Dia pasti akan menceritakkan tentang ayahnya kepada teman-temannya.
Ulasan yang cocok untuk teks tersebut adalah...
“Selanjutnya,” terdengar suara seorang robot pria, dari speaker yang tergantung di plafon. “Reviz Arnoldi.”
Aku kaget, namaku disebut.
Dua menit berlalu. Dua robot datang. Mereka memaksaku berjalan, hinggai sampai di tempat luas, canggih, dan modern. Salah satu robot, memberiku pedang yang bersinar terang. Mereka meninggalkanku sendirian. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku juga tidak mengerti mengapa mereka memberikaniku pedang bersinar itu.
“Bersiaplah Reviz,” terdengar suara dari speaker lagi. “Pertarungan akan dimulai.”
Pertarungan? Aku tak mengerti. Tiba-tiba, tembok terbuka secara otomatis. Di sana ada robot berwarna hitam, memakai helm, tingginya dua meter.
Robot itu mendekati aku. Aku mengangkat pedangku, bersiap jika si robot itu datang. Si robot, ditemani motor canggihnya. Dia mengendarai motornya dengan cepat, mendekati aku. Aku nyaris tertabrak, untungnya aku menghindar.
Si robot, memarkirkan motornya, dia mengambil senjata, mirip seperti pisau lipat. Dia membuka pisau lipat, pisau itu bersinar terang. Si robot berlari mendekati aku. Aku mengayunkan pedang, tapi si robot menghindar. Sekali lagi, aku menyerang dan robot itu menghindar.
Si robot, menendang perutku, hingga aku terpelanting dua meter. Si robot berjalan ke arahku. Dia hendak mengayunkan pisaunya ke arahku, tapi dengan sigap aku menyandung kakinya, hingga dia terjatuh. Aku bangkit berdiri, menancapkan pedangku ke dada si robot. Robot itu rusak, percikan listrik nyaris mengenai kakikku.
Aku berhasil mengalahkannya. Aku senang. Aku menatap sekeliling, untuk melihat apakah ada yang memujiku atau tidak.
Lima orang datang, mereka bukan robot. Aku sudah yakin, lima orang itu akan memberikanku pujian atau hadiah, tapi ternyata bukan. Mereka menatapku dengan tatapan penuh kebencian.
“Tangkap dia!” Teriak salah satu orang.
Aku kaget, berusaha kabur. Aku melihat sekeliling, mencari jalan keluar, tapi semua pintu dan jendela telah ditutup. Lima orang itu mendekati aku.
Dengan sigap, aku berlari ke arah motor si robot. Tak ada kunci, tapi aku mencoba mengendarai motor itu, dan ternyata berhasil. Aku mengendari motor dengan cepat, menabrak dinding, hingga dinding itu hancur.
Aku sekarang berada di luar tempat aneh tadi. Kelima orang itu masih mengejarku. Aku terus menjalankan motor sejauh mungkin, sampai akhirnya aku berhasil lolos dari kejaran lima orang itu.
Dua puluh tahun berlalu.
Aku punya anak. Ricky Arnoldi, dia masih sepuluh tahun.
Sudah jam sebelas malam, tapi anakku masih belum tidur, dia sedang melamun di tempat tidurnya. Aku mendekatinya,
“Hai, jagoan,” kataku. “Kenapa belum tidur?”
“Aku belum ngantuk,” sahut Ricky. “Ayah harus menceritakkan tentang robot gila itu lagi.”
Aku memang sering menceritakkan tentang pengalaman pertarungan dengan robot, tapi sepertinya Ricky tidak bosan.
“Aku membunuh robot gila itu dengan pedang…”
“Aku sudah sering dengar yang itu,” potong Ricky. “Ceritakan bagaimana ayah bisa ada di tempat itu.”
“Oke,” jawabku gagap. Aku menarik napas panjang.
“Jadi, di tahun 2057. Umur ayah masih dua puluh tahun. Aku dan ratusan pemuda lainnya diculik oleh suatu kelompok, mereka bertujuan ingin menggantikan seluruh manusia di bumi dengan robot. Mereka menculikku, untuk menguji coba apakah robot milik mereka sudah kuat.”
“Lalu?” tanya Ricky tak sabar dengan cerita setelah aku kabur dari tempat itu.
“Aku melapor pada polisi. Walaupun tadinya mereka tak percaya dengan ceritaku, tapi akhirnya mereka menyelidiki kasus itu. Dan akhirnya, mereka menangkap kelompok itu.”
“Lalu bagaimana dengan robot gila itu, yah?”
“Mereka dihancurkan.”
Ricky terlihat ketakutan. “Aku takut robot itu akan menyerangku.”
“Itu tidak akan terjadi, ada ayah di sisimu,” aku menengkan. “Sebaiknya kau tidur saja, Ricky.”
Aku pergi dari kamar Ricky. Ricky menutup matanya, walaupun aku tahu dia hanya pura-pura tidur, dia pasti sedang memikirkan tentang masa laluku, dan dia bangga padaku. Dia pasti akan menceritakkan tentang ayahnya kepada teman-temannya.
Ulasan yang cocok untuk teks tersebut adalah...
2 Jawaban
-
1. Jawaban Cindytrilili
ulasanya adalah tentang jagoan -
2. Jawaban reysifadelvina1112
tentang orang pemberani atau jagoan